Kamis, 23 Mei 2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kata berhutang tidak asing lagi ditelinga kita, karena hal tersebut sudah menjadi rutinitas yang wajib dilaksanakan oleh negara tercinta ini, yang mengadakan pembangunan negara dengan cara berhutang. Hal tersebut dijadikan suatu alasan agar Indonesia terus mendapat tempat untuk berhutang dalam rangka membangun negaranya.
Hasrat besar dibalik berhutang tersebut semakin terpelihara apik di Indonesia karena lembaga-lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia, Asian Developement Bank mengamini-nya.  Bahkan secara khusus negara-negara yang ingin memberikan hutang kepada Indonesia tergabung dalam sebuah lembaga seperti IGII, CGI, Paris Club, London club dll.
Akibatnya sudah dapat dipastikan, “kecanduan” berhutang menyebabkan ketergantungan yang sangat parah kepada negara-negara pendonor.  Meminjam gambaran Kwik Kian Gie dalam menjelaskan kondisi ketergantungan Indonesia, beliau menyatakan bahwa begitu parahnya ketergantungan Indonesia kepada hutang luar negeri saat ini, sehingga kita tidak dapat melepaskan diri lagi dari kenyataan bahwa yang memerintah Indoesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri.  Kita sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri.  Kondisi ini sudah merupakan lingkaran setan karena terjerumusnya pemerintah kita ke dalam lubang yang disebut jebakan utang (debt trap).

B.  Rumusan Masalah
    Adapun rumusan masalah yang dibuat adalah sebagai berikut :
1.Apakah yang dimaksud dengan Utang Luar Negeri ?
2. Apa yang menjadi penyebab Utang Luar Negeri ?
3.Apakah solusi Utang Luar Negeri ?
4.Bagaimanakah sejarah Utang Luar Negeri Indonesia ?
5.Siapa saja yang menjadi negara atau lembaga kreditor terbesar?
6. Data Utang Luar Negeri Indonesia tahun 2001-2009 ?
7.Biaya apa saja yang harus dipenuhi pemerintah sebagai peminjam?
8. Bagaimana peran IMF dalam perekonomian Indonesia ?


C.    Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulis dalam menulis makalah ini adalah :
1.    Untuk mengetahui pengertian Utang LN
2.    Menegtahui penyebab utang LN
3.    Mengetahui solusi utang LN
4.    Mengetahui sejarah utang LN
5.    Mengetahui negara – negara yang menjadi pemasok dana terbesar
6.    Mengetahui data Utang LN Indonesia
7.    Mengetahui baiaya yang harus dipenuhi Indonesia dalam Utang LN
8.    Mengetahui peran IMF dalam perekonomian Indonesia
D.    Metodologi Penelitian
Adapun dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan yakni penulis mencari informasi dari berbagai media, seperti buku dan internet.




















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Utang Luar Negeri
Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

B.     Penyebab Utang Luar Negeri
Hasrat berhutang dan debt trap
Berikut adalah beberapa fakta yang menguatkan jebakan hutang tersebut.
Pertama, Pada saat Indonesia meminta bantuan kepada IMF untuk menghadapi krisis pada 1997, lembaga tersebut memaksakan kehendaknya untuk mengintervensi semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.  Dalam letter of intent (LoI) terdapat 1.243 tindakan yang harus dilaksanakan pemerintah Indonesia dalam berbagai bidang seperti perbankan, desentralisasi, lingkungan, fiskal, kebijakan moneter dan Bank Sentral, privatisasi BUMN serta jaring pengaman sosial.
Dengan kata lain, keuangan negara sengaja dibuat bangkrut terlebih dahulu, dan melalui ketergantungan dalam bidang keuangan ini, Indonesia telah sepenuhnya dikendalikan oleh negara pemberi hutang dan lembaga keuangan internasional.
Kedua, tudingan bahwa lembaga seperti IMF dan Bank Dunia diboncengi kepentingan perusahaan-perusahaan dari negara-negara kreditor bukanlah isapan jempol belaka.  Hal tersebut juga diakui oleh pemerintah AS. Selama kurun tahun 1980-an hingga awal 1990-an saja, IMF sudah menerapkan program penyesuaian struktural di lebih dari 70 negara berkembang yang mengalami krisis finansial. Setiap tahun, Bank Dunia juga memberikan sekitar 40.000 kontrak kepada perusahaan swasta. Sebagian besar kontrak ini jatuh ke perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju.
Jadi sangat jelas bahwa negara-negara pendonor sangat berkepentingan untuk memberikan negara-negara berkembang untuk berhutang.  Departemen Keuangan AS mengaku, untuk setiap dollar AS yang dikontribusikan AS ke lembaga-lembaga multilateral, perusahaan-perusahaan AS menerima lebih dari dua kali lipat jumlah itu dari kontrak-kontrak pengadaan untuk program-program atau proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman lembaga-lembaga tersebut.
Hal tersebut tidak hanya terjadi pada pinjaman multilateral.  Pinjaman bilateral seperti dari Jepang pun biasanya diikuti persyaratan sangat ketat yang menyangkut penggunaan komponen, barang, jasa (termasuk konsultan), dan kontraktor pelaksana untuk pelaksanaan proyek harus berasal dari Jepang.  Melalui modus tersebut, Pemerintah Jepang selain bisa me-recycle ekses dana yang ada di dalam negerinya, juga sekaligus bisa menggerakkan perusahaan dalam negerinya yang lesu lewat pengerjaan proyek-proyek yang dibiayai dengan dana hutang ini. 
Dari pinjaman yang digelontorkan tersebut, dana yang mengalir kembali ke Jepang dan negara-negara maju lain sebagai kreditor jauh lebih besar ketimbang yang dikucurkan ke Indonesia sebagai pengutang.
Dapat dikatakan bahwa Indonesia sebagai negara debitor justru mensubbsidi negara-negara kaya yang menjadi kreditornya.
Ketiga,  hutang dianggap sebagai biang dari kerusakan lingkungan yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang khususnya negara kreditor.  Perbandingan antara DSR (Debt Service Ratio) dan laju deforestasi beberapa negara kreditor besar memperlihatkan trend yang semakin meningkat (lihat Tabel)
Tabel Perbandingan Jumlah Hutang, DSR dan Laju Deforestasi
Beberapa Negara Penghutang Dunia
Negara    Jumlah Hutang
(US $)    DSR
(%)    Laju Deforestasi
(%)
Mexico    112    53    30
Brazil    112,5    44    23
Indonesia    53,0    39    51
Venezuela    30,0    37    80
Filipina        35    25
Nigeria    31,0    35    20
India    60,0    29    30
                        Sumber: Susan George, 1992 dalam Rachbini, 1994

C.    Sejarah Utang Luar Negeri Indonesia
Utang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
Pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah memulai kebiasaan berutang bagi pemerintahan di Indonesia. Seluruh utang yang belum dilunasinya pun turut diwariskan, sesuai dengan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada waktu itu disertai dengan pengalihan tanggung jawab segala utang pemerintah kolonial. Dilihat dari perspektif utang piutang, maka Republik Indonesia bukanlah negara baru, melainkan pelanjut dari pemerintahan sebelumnya.
Tradisi pengalihan utang kepada pemerintahan berikutnya bertahan sampai saat ini, terlepas dari perpindahan kekuasaan itu berlangsung dengan cara apa pun. Pemerintahan era Soekarno mewariskan utang luar negeri (ULN) sekitar USD 2,1 miliar kepada pemerintahan Soeharto. Secara spektakuler, pemerintahan Soeharto membebani Habibie dengan warisan utang sebesar USD 60 miliar. Bahkan, pemerintahan Habibie mewariskan utang yang lebih besar, hanya dalam kurun waktu dua tahun. ULN memang “hanya” bertambah menjadi sebesar USD 75 miliar dolar. Namun, utang dalam negeri yang semula nihil menjadi USD 60 miliar (jika dikonversikan), sehingga utang pemerintah secara keseluruhan menjadi sekitar USD 135 miliar.
Tentu tidak adil jika hanya melihat angka utang yang fantastis di era Habibie secara begitu saja. Sebagian masalahnya adalah karena akumulasi utang beserta akibat lanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Bisa dikatakan bahwa Pemerintahan Habibie harus menghadapi krisis moneter dan ekonomi, yang berasal dari era Soeharto.

Utang Pemerintah Orde Lama
Sesuai dengan perjanjian ketika penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia, pemerintahan Soekarno menerima pula warisan utang pemerintah kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar Amerika. Utang tersebut memang tidak pernah dibayar oleh Pemerintahan Soekarno, namun juga tidak dinyatakan di¬hapuskan. Utang ini nantinya diwariskan kepada era-era pe¬merintahan berikutnya, dan akhirnya dilunasi juga.
Pada awal kemerdekaan, sikap pemerintah Soekarno-Hatta ter¬hadap utang luar negeri bisa dikatakan mendua. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan sangat dibutuhkan. Negara baru yang baru merdeka ini memerlukan dana untuk memperbaiki taraf kesejahteraan rakyat, yang sudah sedemikian terpuruk karena kolonialisme. Ketiadaan infrastruktur, dan rusaknya sebagian besar kapasitas produksi seperti ladang minyak, membuat penerimaan negara dari sumber domestik belum bisa diandalkan. Hibah dari negara-negara yang bersimpatik ketika awal kemerdekaan tentu saja tidak memadai dan lambat laun di¬hentikan. Pilihan yang tersedia adalah mempersilakan modal asing masuk ke Indonesia untuk berinvestasi, serta melakukan pinjaman luar negeri.
Di sisi lain, pemerintah Soekarno-Hatta bersikap waspada ter¬hadap kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana kembalinya kolonialisme. Semangat kemerdekaan masih amat kental, sehingga mereka peka dalam masalah yang berkaitan dengan kedaulatan Indonesia. Suasana ini juga mewarnai dinamika parlemen, sekalipun terdiri dari banyak partai dengan latar idelogis berbeda. Akibatnya, persyaratan yang ketat ditetapkan dalam setiap perundingan berutang kepada pihak luar negeri. Ini berlaku juga ter¬hadap masalah penanaman modal asing, termasuk perundingan mengenai tambang dan kilang minyak di wilayah Indonesia.
Sebagai contoh, Hatta dalam berbagai kesempatan me¬ngemukakan antara lain: negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, suku bunga tidak boleh lebih dari 3-3,5 persen per tahun, dan jangka waktu utang yang lama. Jadi, selain melihat utang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Terkenal pula pernyataan sarkastis Soekarno, yang mengatakan ”go to hell with your aid” kepada AS karna berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik.
Bagaimanapun, transaksi utang luar negeri tetap terjadi pada awal kemerdekaan. Sampai dengan tahun 1950, utang pemerintah yang baru tercatat sebesar USD 3,8 miliar, selain utang warisan pemerintah kolonial. Setelah itu, terjadi fluktuasi jumlah utang pemerintah, seiring dengan sikap pemerintah yang cukup sering berubah terhadap pihak asing dalam soal modal dan utang. Selama kurun tahun 50-an tetap saja ada bantuan dan utang yang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah yang berubah-ubah itu dikarenakan kerapnya pergantian kabinet, disamping faktor Soekarno sebagai pribadi.
Sebagai contoh, pada tahun 1962, delegasi IMF berkunjung ke Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama, dan pada tahun 1963 utang sebesar USD17 juta diberikan oleh Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia pun kemudian bersedia melaksanakan beberapa kebijakan ekonomi baru yang bersesuaian dengan proposal IMF. Namun, keadaan berbalik pada akhir tahun itu juga, ketika Malaysia pemerintah Inggris menyatakan Malaysia di¬nyatakan sebagai bagian federasi Inggris tanpa pembicaraan dengan Soekarno. Hal ini sebetulnya juga berkaitan dengan nasionalisasi beberapa perusahaan Inggris di Indonesia. Yang jelas, hubungan Indonesia dengan IMF dan Amerika, turut memburuk. Berbagai kesepakatan sebelumnya dibatalkan oleh Soekarno, dan Indonesia keluar dari keanggotaan IMF dan PBB.
Secara teknis ekonomi, telah ada pelunasan utang dari sebagian hasil ekspor komoditi primer Indonesia. Ada pula penghapusan se¬bagian utang oleh kreditur, terutama dari negara-negara yang ber¬sahabat, setidaknya dalam tahun-tahun tertentu. Akhirnya, ketika terjadi perpindahan kekuasaan kepada Soeharto, tercatat utang luar negeri pemerintah adalah sebesar USD 2,1 miliar. Jumlah ini belum termasuk utang warisan pemerintah kolonial Belanda yang sekalipun resmi diakui, tidak pernah dibayar oleh pemerintahan Soekarno.
Perkembangan Utang Pemerintah Era Soeharto
Sejak awal, sikap pemerintahan Soeharto terhadap modal asing berbeda dengan sikap Soekarno-Hatta. Sebagai contoh, undang¬undang pertama yang ditandatangani Soeharto adalah UU no.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang isinya bersifat terbuka dan bersahabat bagi masuknya modal dari negara manapun. Beberapa bulan sebelumnya, IMF membuat studi tentang program stabilitas ekonomi, yang rekomendasinya segera diikuti oleh pemerintah. Indonesia juga telah secara resmi kembali menjadi anggota IMF.
Seiring dengan itu, perundingan serius mengenai utang luar negeri Indonesia berlangsung lancar. Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia, seketika diimbali oleh negara-negara barat berupa: pemberian hibah, restrukturisasi utang lama, komitmen utang baru dan pencairan utang baru yang cepat. Hibah sebesar USD 174 juta dikatakan bertujuan untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi. Restrukturisasi utang yang disetuji bernilai sekitar USD 534 juta. Lewat berbagai perundingan, terutama pertemuan Paris Club, disepakati moratorium utang sampai dengan tahun 1971 untuk pembayaran cicilan pokok sebagian besar utang. Akhirnya, sejak tahun 1967 Indonesia mendapat persetujuan utang baru dari banyak kreditur, dan sebagiannya langsung dicairkan pada tahun itu juga.
ULN dengan Persyaratan Lunak
Pada mulanya, semua utang baru itu bisa dikatakan sebagai pinjaman dengan syarat lunak. Ada jenis pinjaman yang biasa disebut bantuan program, yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantu¬an pangan. Bantuan program ini berbentuk devisa tunai atau hak untuk memperoleh sejumlah komoditi yang ditentukan. Ada bantu¬an proyek, yang pada dasarnya adalah utang bagi pembagunan proyek tertentu dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak. Bahkan, ada dana berbentuk sumbangan (grant) atau hibah yang berfungsi sebagai ”dana pendamping” dari utangnya.
Para kreditur yang memberi utang kepada Indonesia awalnya hanya terdiri dari negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan iternasional. Para kreditur tersebut mengkoordinasikan diri ke dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Beberapa tahun kemudian, kreditur swasta turut terlibat. Sebagian kreditur swasta yang besar kadang diundang dalam forum-forum IGGI.
IGGI didirikan pada tahun 1967 di Den Haag, yang anggotanya terdiri dari: Australia, Amerika Serikat, Belgia, Belanda, Italia, Jerman, Jepang, Inggris, Perancis, dan Kanada. Ada negara-negara yang hadir sebagai peninjau, seperti: Austria, Denmark, Norwegia, Selandia Baru, dan Swiss. Sedangkan lembaga-lembaga keuangan multilateral yang menjadi anggota forum adalah: IMF, IBRD, ADB, UNDP, dengan OECD sebagai peninjau. Pada tanggal 25 Maret 1992, dipicu oleh suatu insiden politik, IGGI dibubarkan dan kepemimpinan Belanda tidak diakui lagi oleh Indonesia. Namun, fungsi IGGI tetap berlangsung melalui wadah baru bernama Consultative Group for Indonesia (CGI), dengan pimpinan Bank Dunia. Selama perkembangannya, ada beberapa lembaga internasional, termasuk bentukan Bank Dunia, yang kemudian bergabung, seperti IDA, IFAD (International Fund for Agricultural Development) dan IFC (International Finance Corporation). Terjadi pula beberapa pergeseran besaran kontribusi masing-masing negara.
Resminya, IGGI/CGI hanyalah suatu forum pembicaraan me¬ngenai ULN pemerintah Indonesia. Namun, pada praktiknya IGGI/CGI menyerupai konsorsium. Sebagian besar ULN pemerintah pada era pemerintahan Soeharto dibicarakan dan disepakati dalam forum IGGI/CGI. Setiap tahun, forum ini memutuskan jumlah dan macam pinjaman yang akan diberikan, setelah mempertimbangkan “usulan” dari pemerintah Indonesia. Dalam artian tertentu, IGGI/CGI memang bukan konsorsium, karena masing-masing kreditur me¬miliki kesepakatan tersendiri tentang detilnya, dan tidak seluruh hasil forum bersifat mengikat kepada mereka.
Pada saat pemerintahan Soeharto mulai menerima ULN dan satu dekade setelahnya, perkembangan wacana keuangan internasional memang sedang kondusif. Selain yang dinyatakan sebagai dimensi kemanusiaan atau charity, serta keterkaitan dengan masalah pe-rebutan pengaruh politik Blok Barat dan Blok Komunis, konsep dan praktik keuangan internasional memang tengah marak me¬ngembangkan berbagai bentuk ULN. Ada dua pemicu utama dari sisi wacana keuangan dan perekonomian. Pertama, upaya banyak negara maju untuk merestukturisasi sekaligus mengembangkan industri pengolahannya, yang berlangsung mulai era 1960-an. Ada pertimbangan suplai sumber energi, bahan baku, pemindahan se¬bagian tahap produksi, sampai kepada penetrasi pasar.
Kedua, mulai ada kelebihan likuiditas pada lembaga keuangan internasional, yang kemudian mendapat momentum lanjutan dari petro dollar akibat kenaikan harga minyak sejak awal 70-an. Selain disimpan pada bank dan lembaga keuangan komersial, dana petro dollar dari negara-negara produsen minyak ini juga bisa diakses oleh IMF.
Perkembangan wacana dan kondisi keuangan internasional itu kemudian antara lain menghasilkan ULN yang diterima pemerintah negara-negara sedang berkembang (NSB), termasuk Indonesia. Secara umum, jenisnya terdiri dari: dana pembangunan resmi (official development fund/ODF), kredit ekspor (export credit) dan pinjaman swasta (private flows). ODF adalah pinjaman resmi bersyarat lunak dari suatu negara donor melalui lembaga keuangan bilateral negara yang bersangkutan dan atau melalui lembaga dan bank pembangunan multilateral seperti: Bank Dunia, ADB, IDA, dan sebagainya. ODF dapat berupa pinjaman bersyarat sangat lunak (Official development assistance/ODA) atau pinjaman setengah lunak (less concessional loan/LCL).
Kredit ekspor adalah pinjaman setengah resmi dengan per¬syaratan setengah lunak yang dananya berasal dari negara donor (disebut official financial support) atau yang bersumber dari pihak perbankan dan lembaga keuangan swasta yang dijamin dan disubsidi oleh pemerintah negara donor. Penggunaan kredit ekspor itu kadang-kadang terbatas hanya untuk pengadaan barang dan jasa di negara donor (tied), dan kadang tidak mengikat, atau kombinasi antara keduanya. Kredit ekspor disebut “suppliers credit” kalau pinjaman itu disalurkan melalui pemasok di negara donor. Pinjaman ini dinamakan “buyers credit” jika diberikan langsung oleh lembaga kredit ekspor kepada peminjam di negara penerima.
Secara teknis, dikenal pembedaan jenis ULN dengan sebutan Pinjaman program dan Pinjaman proyek dalam pencatatan APBN saat ini. Pada masa sebelumnya, ULN dicatat dalam APBN setiap tahunnya sebagai bantuan program dan bantuan proyek. Pada tahun¬tahun tertentu, ada yang dicatat sebagai pinjaman setengah lunak/komersial dan pinjaman tunai. Jenis yang masuk kategori dalam pinjaman swasta ini hanya pada periode tertentu memiliki arus masuk yang besar.
Sebenarnya, pembedaan antara pinjaman program dan pinjaman proyek bersifat sumir atau tidak cukup tegas. Pada dasarnya, kedua jenis itu terdiri dari ODA, LCL dan Kredit ekspor dalam pengertian yang disinggung di atas. Meskipun demikian, ULN yang disebut pinjaman program, pada umumnya bersifat lebih lunak dan mem¬bantu. Pembedaan ini memang cukup jelas pada masa awal pe¬merintahan Soeharto.
Pinjaman program pada awal Orde baru terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan. Pinjaman program diorientasikan untuk menyelesaikan masalah jangka pendek dan mendesak, serta bersifat sangat lunak. Pada masa berikutnya, tingkat kelunakan men¬jadi kurang jelas. Sifat pinjaman program yang membantu mengatasi masalah ekonomi dan keuangan pemerintah yang mendesak tetap dipertahankan. Sifat utamanya adalah memberikan aliran devisa atau kas masuk secara langsung bagi pemerintah.
Akan tetapi, dalam beberapa tahun tersebut, pinjaman program terkait dengan perubahan kebijakan dalam bentuk undang-undang dan peraturan lainnya. Pencairan utang program selalu dikaitkan dengan capaian dalam perubahan kebijakan yang berhasil dilakukan pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan pinjaman proyek terutama adalah utang yang diterima dalam bentuk fasilitas ber¬belanja barang dan jasa kepada negara/lembaga kreditur dalam bentuk kredit. Bedanya dengan pinjaman program, pinjaman proyek lebih ditujukan untuk proyek investasi jangka panjang
Sebagaimana telah disinggung di atas, sejak tahun 1967 Indonesia telah menerima pinjaman dengan syarat lunak atau dalam bentuk sumbangan (grant) dari negara-negara dan lembaga-lembaga ke¬uangan iternasional yang tergabung dalam IGGI. Dalam beberapa tahun sejak itu, Indonesia mendapat pinjaman berbentuk bantuan program yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan, serta bantuan proyek dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak.
Utang Pemerintahan Transisi (Habibie)
a)         Tanggal 14 dan 15 Mei 1997, kurs bath terhadap US$ mengalami penurunan (depresiasi) sebagai akibat dari keputusan jual dari para investor yang tidak percaya lagi thd prospek ekonomi Thailand dalam jk pdk.
Pemerintah Thailand mengintervensi dan didukung oleh bank sentral singapora, tapi tidak mampu menstabilkan kurs Bath, sehingga bank sentral Thailand mengumumkan kurs bath diserahkan pada mekanisme pasar.
2 Juli 1997, penurunan nilai kurs bath terhadap US$ antara 15% - 20%
b)         Bulan Juli 1997, krisis melanda Indonesia (kurs dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650.) BI mengintervensi, namun tidak mampu sampai bulan maret 1998 kurs melemah sampai Rp 10.550 dan bahkan menembus angka Rp 11.000/US$.
Langkah konkrit untuk mengatasi krisis:
a)         Penundaan proyek Rp 39 trilyun untuk mengimbangi keterbatasan anggaran Negara
b)         BI melakukan intervensi ke bursa valas
c)         Meminta bantuan IMF dengan memperoleh paket bantuan keuangan US$ 23 Milyar pada bulan Nopember 1997.
d)        Mencabut ijin usaha 16 bank swasta yang tidak sehat
Januari 1998 pemerintah Indonesia menandatangani nota kesepakatan (LOI) dengan IMF yang mencakup 50 butir kebijakan yang mencakup:
a)         Kebijakan ekonomi makro (fiscal dan moneter) mencakup: penggunaan prinsip anggaran berimbang; pengurangan pengeluaran pemerintah seperti pengurangan subsidi BBM dan listrik; pembatalan proyek besar; dan peningkatan pendapatan pemerintah dengan mencabut semua fasilitas perpajakan, penangguhan PPN, pengenaan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak obyek pajak.
b)         Restrukturisasi sektor keuangan
c)         Reformasi struktural
Bantuan gagal diberikan, karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan kesepakatan dengan IMF yang telah ditandatangani.
Indonesia tidak mempunyai pilihan kecuali harus bekerja sama dengan IMF. Kesepakatan baru dicapai bulan April 1998 dengan nama “Memorandum Tambahan mengenai Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan” yang merupakan kelanjutan, pelengkapan dan modifikasi 50 butir kesepakatan.  Tambahan dalam kesepakatan baru ini mencakup:
a)         Program stabilisasi perbankan untuk stabilisasi pasar uang dan mencegah hiperinflasi
b)         Restrukturisasi perbankan untuk penyehatan system perbankan nasional
c)         Reformasi structural
d)        Penyelesaian utang luar negeri dari pihak swasta
e)         Bantuan untuk masyarakat ekonomi lemah.

Utang Pemerintahan Reformasi (Abdurrahman Wahid)
Mulai pertengahan tahun 1999.
Target:
a)         Memulihkan perekonomian nasional sesuai dengan harapan masyarakat dan investor
b)         Menuntaskan masalah KKN
c)         Menegakkan supremasi hukum
d)        Penegakkan hak asasi manusia
e)         Pengurangan peranan ABRI dalam politik
f)          Memperkuat NKRI (Penyelesaian disintegrasi bangsa)
Kondisi:
a)         Pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi positif (mendekati 0)
b)         Tahun 2000 pertumbuhan ekonomi 5%
c)         Kondisi moneter stabil ( inflasi dan suku bunga rendah)
d)        Tahun 2001, pelaku bisnis dan masyarakat kurang percaya kepada pemerintahan sebagai akibat dari pernyataan presiden yang controversial, KKN, dictator, dan perseteruan dengan DPR
e)         Bulan maret 2000, cadangan devisa menurun dari US$ 29 milyar menjadi US$ 28,875 milyar
f)          Hubungan dengan IMF menjadi tidak baik sebagai akibat dari: penundaan pelaksanaan amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah (terutama kebebasan untuk hutang pemerintah daerah dari LN); dan revisi APBN 2001.
g)         Tahun 2001, pertumbuhan ekonomi cenderung negative, IHSG merosot lebih dari 300 poin, dan nilai tukar rupiah melemah dari Rp 7000 menjadi Rp 10.000 per US$.

Utang Pada Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a.       Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b.      Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.

Utang Pada Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.

D.     Daftar Negara/Lembaga Kreditor (Pemberi Utang Luar Negeri) terbesar Indonesia
1. Jepang                                             : 45,5% atau 29.8 miliar USD* atau Rp 358 triliun
2. ADB (Asian Development Bank)   : 16,4% atau 10.8 miliar USD atau Rp 129 triliun
3. World Bank (Bank Dunia)              : 13.6% atau 8.9 miliar USD atau Rp 107 triliun
4. Jerman                                             : 4.7% atau 3.1 miliar USD atau Rp 37 triliun
5. Amerika Serikat                              : 3.7% atau 2.3 miliar USD atau Rp 28 triliun
6. Inggris                                             : 1.7% atau 1.1 miliar USD atau Rp 13 triliun
7. Negara/lembaga lain                        : 14.6% atau 9.6 miliar USD atau Rp 115 triliun


E.     Data Utang Luar Negeri Indonesia (2001-2009** )
* 2001 : 58,791 miliar USD
Tambahan Utang (5,51 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (4,24 miliar USD)
* 2002 : 63,763 miliar USD
Tambahan Utang (5,65 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (4,57 miliar USD)
* 2003 : 68,914 miliar USD
Tambahan Utang (5,22 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (4.96 miliar USD)
* 2004 : 68,575 miliar USD
Tambahan Utang (2,60 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (5,22 miliar USD)
* 2005 : 63,094 miliar USD
Tambahan Utang (5,54 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (5,63 miliar USD)
* 2006 : 62,02 miliar USD
Tambahan Utang (3,66 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (5,79 miliar USD)
* 2007 : 62,25 miliar USD
Tambahan Utang (4.01 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (6,32 miliar USD)
* 2008 : 65,446 miliar USD
Tambahan Utang (3,89 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (5,87 miliar USD)
* 2009*: 65,7 miliar USD
Tambahan Utang (????), cicilan utang + bunga (>5 miliar USD)
* 1 USD = Rp 12.000 (asumsi rata-rata) -
** Data Utang Indonesia per 31 Januari 2009. www.dmo.or.id atau Perkembangan Utang Pemerintah 2001-2009

F.    Tiga Komponen Biaya Yang Harus Dipenuhi Pemerintah Sebagai Peminjam
1.      Biaya di muka (front and fee)
2.      Biaya bunga (interest) yang harus disesuaikan dengan London Interest Bond and Obligation Rate (LIBOR)
3.      Biaya komitmen (commitment fee) yang harus dibayarkan jika pemerintah terlambat (sesuai jadwal yang disepakati) melakukan pencairan pinjaman
Di antara tiga biaya yang sangat memberatkan itu, biaya front and fee dan commitment fee adalah biaya-biaya yang tidak tampak atau jelas ke mana alirannya. Biaya front and fee yang harus dikeluarkan pemerintah atau negara peminjam sebesar 1 persen dari total pinjaman yang diajukan ini tidak jelas untuk apa ditujukan, sebab segala hal yang berkaitan dengan urusan pinjam-meminjam telah terdapat biaya operasionalnya masing-masing. Karena itu, biaya di muka selama Indonesia terlibat dalam urusan utang luar negeri dengan pihak lender, selain sangat sulit untuk dilacak dan merugikan negara, bisa jadi telah terjadi “permainan” antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini dan Bank Dunia. Oleh karena itu, proyek-proyek yang dibiayai utang semacam ini, sebelum terjadi loan agreement, telah menguap, dan inilah yang menurut perhitungan ekonomis tidak dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya, kaitan antara pinjaman yang diterima dan tujuan penanggulangan kemiskinan secara nasional menjadi sangat lemah dan hanya menguntungkan sekelompok orang.



G.    Peran IMF Dalam Perekonomian Indonesia
Pola dan proses dinamika pembangunan ekonomi di suatu negara ditentukan oleh banyak faktor baik domestik mapun eksternal. Faktor-faktor domestik antara lain kondisi fisik (termasuk iklim), lokasi geografis, jumlah dan kualitas sumber daya alam (SDA), dan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki, kondisi awal ekonomi, sosial dan budaya, sistem politik, serta peranan pemerintah di dalam ekonomi. Adapun faktor-faktor eksternal di antaranya adalah perkembangan teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia, serta keamanan global.
Dari pengalaman di berbagai negara menurut Tulus T.H. Tambunan mungkin dapat dikatakan yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi bukan “warisan” dari negara penjajah, melainkan orientasi politik, sistem ekonomi, serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim pemerintah yang berkuasa setelah lenyapnya kolonialisasi. Pengalaman Indonesia sendiri menunukkan bahwa pemerintahan orde lama, rezim yang berkuasa menerapkan sistem ekonomi tertutup dan lebih menguatkan militer dari pada ekonomi. Ini semua menyebabkan ekonomi nasional pada masa itu mengalami stagnasi, pembangunan praktis tidak ada. Walaupun ideology Indonesia adalah Pancasila namun pengaruh ideology komunis pada waktu itu sangat kuat. Indonesia umumnya memilih haluan politik berbau komunis sebagai refleksi dari perasaan anti kolonialisme dan anti imperialisme.
Transisi pemerintahan dari orde lama ke orde baru berpenaruh pada paradigma pembangunan ekonomi dari yang berhaluan sosialis ke kapitalis-liberal. Pemerintahan orde baru menjalin kembali hubungan baik dengan Barat dan menjauhi ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota PBB dan anggota lembaga-lembaga dunia lainnya seperti Bank Dunia dan IMF. IMF yang didirikan sebagai hasil konferensi Bretton Woods pada tahun 1944 secara umum mempunyai tujuan memberi bantuan kepada negara anggota yang membutuhkan. Kesemuanya itu akan dapat memberi peluang memperbaiki ketidakseimbangan neraca pembayarannya tanpa mengambil jalan yang merusak neraca pembayaran nasional atau internasional.
Indonesia dan IMF
Indonesia pada masa orde baru kembali menjadi anggota IMF dilakukan pada masa Kabinet Ampera untuk melaksanakan pokok-pokok kebijakan stabilisasi dan rehabilitasi. Kondisi merupakan awal terjadinya bantuan IMF hingga sekarang. Setiap tahun, Indonesia mendapatkan bantuan dari IGGI (Inter Government Group on Indonesia) yang di dalamnya terkait dengan bantuan Bank Dunia. Sesudah IGGI berubah menjadi CGI , maka di dalamnya juga terkait bantuan IMF dan Bank Dunia dengan bantuan sekitar US$ 5 Milyar setiap tahunnya. Sejak terjadi krisis tahun 1997 Indonesia telah meminta bantuan IMF dengan paket bantuan senilai US$ 23 Milyar. Kondisi perekonomian nasional era orde baru lmenjadi lebih baik karena perubahan pada orientasi kebijakan ekonomi dari sistem sosialis ke sistem kapitalis.
Era reformasi kemudian mewarnai arena perpolitikan dalam negeri, IMF melalui Stanley Fisher (Wakil Dierektur IMF) yang didampingi Hubert Neiss (Direktur IMF untuk Asia Timur dan Pasifik) melakukan wawancara secara terpisah dengan pimpinan lima partai besara waktu itu yaitu PDIP, Golkar, PKB, PPP dan PAN. Dari hasil wawancara dianggap telah mewakili gambaran pemerintahan Indonesia pasca Pemilu 1999. dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa Indonesia masih sangat tergantung pada bantuan luar negeri dan sulit melepaskan diri dari pengaruh IMF . Begitu pula pemerintahan SBY dengan menghadirkan sosok Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan yang notabene mantan pejabat IMF.
Ketergantugan yang Tinggi
Pertanyaan yang timbul diajukan berdasar paparan sebelumnya bahwa kenapa Indonesia begitu sangat bergantung pada campur tangan IMF? Dari sisi historis pengalaman Indonesia mengambil haluan ideologi sosialis terbukti telah gagal di samping beberapa faktor. Indonesia kemudian mengambil jalan ekonomi yang terbuka yang dimungkinkannya kerja sama dengan berbagai pihak termasuk IMF. Adam Smith dalam pandangannya menghendaki negara membiarkan kekuasaan membuat keputusan-keputusan ekonomi berada di tangan orang-orang ekonomi itu sendiri. Jika perekonomian itu bebas maka para pengusaha akan menggunakan modalnya untuk usaha-usaha yang paling produktif dan pembagian pembagian pendapatan dapat menemukan sendiri tingkatnya yang wajar di pasar.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hingga sekarang tingkat ketergantungan Indonesia kepada pengaruh IMF sangat tinggi, karena pada dasarnya Indonesia terbantu dengan bantuan luar negeri ini. Sistem ekonomi yang liberal memberi potensi bagi suatu negara untuk membuka pintu kerja sama yang luas yang kemudian menjelma menjadi arena transaski internasional secara bebas.
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia tidak dapat menghindar dari proses globalisasi ekonomi dunia. Dampak utama dari proses globalisasi ekonomi adalah berubahnya konsep perdagangan internasional dalam menentukan pola perdagangan dan produksi suatu negara. Ketergantungan Indonesia yang tinggi semakin terasa ketika Indonesia tidak mampu megatasi sendiri krisisnya yang berujung pada kebutuhan bantuan dari IMF melalui mekanisme utang luar negeri.

H.       Utang Luar Negeri Dan Neokolonialisme Indonesia
Sikap pemerintah terhadap utang luar negeri ternyata belum banyak berubah, anjuran koalisi Anti Utang (KAU) agar pemerintah “menghapuskan utang lama dan menolak utang baru”, cenderung diabaikan oleh pemerintah. Alih-alih meminta penghapusan utang, sekedar mempercepat pelunasan utang kepada IMF pun pemerintah tampak berat hati. Sikap pemerintah yang sangat bersahabat dengan utang luar negeri dan IMF itu jelas sangat bertolak belakang dengan kecenderungan internasional mengenai hal tersebut. Sebagaimana diketahui, secara internasional, kritik terhadap utang luar negeri cenderung semakin meningkat. Kritik tidak hanya muncul sehubungan dengan efektifitasnya, tetapi meluas hingga mencakup sisi kelembagaan, sisi ideologi, serta implikasi sosial dan politiknya.
Pada sisi efektifitasnya, secara internal, utang luar negeri tidak hanya dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara Dunia Ketiga. Ia diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan (Pearson, 1969, Kindleberger dan Herrick 1977). Sedangkan secara eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi pemicu meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, modal asing, dan pada pembuatan utang luar negeri secara berkesinambungan (payer, 1974, Gelinas, 1998)
Pada sisi kelembagaannya, lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB), tidak hanya dipandang telah bersikap tidak transparan dan tidak akuntabel. Keduanya diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara Dunia Pertama pemegang saham utama mereka, untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman (Rich, 1999; Stiglitz, 2002; Pincus dan Winetrs, 2004).
Pada sisi ideologinya, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. Dengan dipakainya utang luar negeri sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitaliseme neoliberal, berarti utang luar negeri telah dengan sengaja dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk menguras dunia (Erler, 1989).
Sedangkan pada sisi implikasi sosial dan politiknya, utang luar negeri tidak hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman. Secara tidak langsung ia diyakini turut bertanggungjawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatkan tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987; George, 1992; Hanlon, 2000)

Utang dan Imperialisme
Muara dari berbagai kritik tersebut adalah pada munculnya gagasan untuk menelusuri jejak utang luar negeri sebagai sarana imperialisme. Studi pertama yang secara khusus melakukan hal itu adalah yang dilakukan oleh Teresa Hayter. Berangkat dari hasil penelitiannya yang dibiayai Bank Dunia di empat negara Amerika Latin, Columbia, Chile, Brazil, dan eru Hayter kemudian menulis sebuah buku dengan judul “Aid as Imperialism”.
Dalam buku setebal 222 halaman yang terbit pada 1971 tersebut, Hayter secara tegas menyimpulkan bahwa “utang luar negeri pada dasarnya bukanlah transfer sumber daya yang bebas persyaratan”. Menurut Hayter, hal-hal yang dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri meliputi : (a) pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman; (b) peniadaan kebebasan dalam melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, nasionalisasi perusahaan asing; dan (c) permintaan untuk melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi “yang dikehendaki”, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan langsung pemerintah dalam bidang ekonomi.
Berdasarkan ketiga persyaratan tersebut, menurut Hayter. “aid is, in general, available to those countries whose internal political arrangements, foreign policy alignments, treatment of foreign private investment, debt-servicing record, export politicies, and so on, are considered desirable, potentialli desirable, or at least accpetable, by countries or institution providing aid, and which do not appear to threaten their interest”.
Selanjutnya, ketika berbicara mengenai IMF, Bank Dunia (dan USAID), Hayter secara jelas menyatakana bahwa sudut pandang ketiga lembaga itu dalam menetapkan syarat pemberian pinjaman cenderung seragam. Fokus kebijakan ketiganya, terutama IMF dan Bank Dunia, senantiasa mengarah pada pengendalian inflasi serta perintah untuk memotong investasi publik dan belanja kesejahteraan. Menurut Hayter, faktor utama di balik kecenderungan tersebut adalah posisi dominan Amerika pada ketiga lembaga itu. Implikasinya, walaupun tidak dinyatakan secara terbuka, dalam memberikan pinjaman, ketiganya tidak hanya mengevaluasi proyek yang akan mereka biayai, tetapi juga negara yang akan menerima pinjaman tersebut.
Kesimpulan Hayter itu belakangan dipertegas oleh Hudson. Menurut Hudson (2003), tujuan pemberian pinjaman oleh Amerika sejak 1960 memang tidak dimaksudkan untuk membantu negara-negara penerima pinjaman, melainkan untuk meringankan tekanan terhadap neraca pembayaran negara tersebut. Kebijakan itu erat kaitannya dengan upaya pemerintah Amerika untuk mensubsidi peningkatan ekspor berbagai barang dan jasa mereka ke seluruh penjuru dunia.
Dalam rangka itu, sebagaimana diakui Perkins (2004), Amerika tidak hanya bekerja melalui mekanisme hubungan ekonomi-politik biasa. Amerika secara terstruktur mengembangkan sebuah porfesi yang dikenal sebagai preman ekonomi (economic hit man), yang bernaung di bawah Badan keamanan Nasional (NSA) Amerika, yang secara khusus bertugas untuk membangkrutkan negara-negara Dunia Ketiga.
Tiga catatan penting yang perlu diangkat ke permukaan mengenai keberadaan para preman ekonomi ini adalah sebagai berikut. Pertama, preman ekonomi bekerja di bawah kordinasi Badan Keamanan Nasional (The National Security Agency). Walau pun secara resmi para ekonomi penjajah direkrut, dilatih, dan bekerja di bawah koordinasi NSA, tetapi secara eporasional mereka dipekerjakan secara terselubung melalui perusahaan-perusahaan swasta Amerika Perkins antara lain menyebut perusahaan-perusahaan seperti Monsanto, General Electric, Nike, general Motors, dan Wal-Mart, sebagai beberapa contoh.
Kedua, misi para preman ekonomi adalah memperoleh komitmen para pejabat negara-negara Dunia Ketiga untuk berbelanja secara kredit ke Amerika. Dalam menjalankan misinya, seorang preman ekonomi diperkenankan melakukan apa pun, termasuk melakukan cara-cara ilegal. Target mereka adalah mendorong para pejabat negara-negara Dunia Ketiga untuk berutang sebanyak-banyaknya, sehingga negara mereka tidak mampu membayarnya.
Ketiga, kegagalan para preman ekonomi bukanlah akhir dari upaya pemerintah Amerika dalam mewujudkan dominasinya. Dua hal dapat terjadi menyusul kegagalan tersebut. Pertama, berlangsungnya operasi CIA, yaitu yang ditandainya oleh terjadinya berbagai peristiwa yang mengarah pada penggulingan atau pembinasaan seorang pejabat negara Dunia Ketiga. Kedua, penaklukan negara-negara Dunia Ketiga yang besangkutan melalui operasi militer.

Asal Mula Utang Indonesia
Sebagai sebuah negara yang terpuruk di bawah himpitan utang luar negeri sebesar 78 milyar dollar AS, dengan beban angsuran pokok dan bunga utang (dalam dan luar negeri) mencapai sepertiga APBN, Indonesia tentu patut dicatat sebagai sebuah negara Dunia Ketiga yang terperosok ke dalam kolonialisme utang. Sehubungan dengan itu, catatan perjalanan utang luar negeri Indonesia sebagaimana berikut menarik untuk dicermati.
Masalah utang luar negeri bukanlah masalah baru bagi Indonesia. walaupun masalah ini baru terasa menjadi masalah serius sejak terjadinya transfer negatif bersih (net negatif transfer) pada tahun anggaran 1984/1985, masalah utang luar negeri sudah hadir di Indonesia sejak tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan. Sebagaimana diketahui, kemerdekaan Indonesia baru diakui oleh masyarakat internasional ada Desember 1949. Walau pun demikian, berbagai persiapan untuk memperoleh utang luar negeri telah berlangsung sejak 1947. Bahkan, pada tingkat wacana, perbincangan mengenai arti penting utang luar negeri bagi peningkatan kesejahteraan rakyat telah berlangsung sejak November 1945.
Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila segera setelah pengakuan kedaulatan, utang luar negeri segera hadir dalam catatan keuangan pemerintah. Walau pun demikian, tidak berarti kehadirannya sama sekali bebas dari kontroversi. Sebagai negara bekas jajahan, para Bapak Pendiri Bangsa memiliki komitmen untuk mengembangkan sebuah ekonomi nasional yang berbeda dari ekonomi kolonial. Sebagaimana didefinisikan Soekarno, yang dimaksud dengan ekonomi kolonial adalah sebuah perekonomian yang memiliki tiga ciri sebagai berikut : merupakan sumber bahan baku bagi negara-negara industri, merupakan pasar bagi barang-barang hasil industri mereka, dan merupakan tempat berinvestasi bagi modal negara-negara industri tersebut (Weinstein, 1976:213)
Komitmen untuk membangun ekonomi nasional yang berbeda dari ekonomi kolonial itu antara lain terungkap pada kuatnya hasrat para Bapak Pendiri Bangsa untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam penguasaan faktor-faktor produksi di tanah air. Sebab itu, jika dilihat dari sudut utang luar negeri, sikap para Bapak Pendiri Bangsa cenderung mendua. Di satu sisi mereka memandang utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses peningkatan kesejahteraan rakyat. Tetapi, disisi lain, mewaspadai penggunaan utang luar negeri sebagai sarana untuk menciderai kedaulatan Indonesia, mereka cenderung menetapkan syarat yang cukup ketat dalam membuat utang luar negeri.
Sikap waspada para Bapak Pendiri Bangsa terhadap bahaya utang luar negeri itu antara lain terungkap pada syarat pembuatan utang luar negeri sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Hatta berikut : Pertama, negara pemberi pinjaman tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri negara yang meminjam. Kedua, suku bunganya tidak boleh lebih dari 3-3, 5 persen setahun. Ketiga, jangka waktu utang luar negeri harus cukup lama. Untuk keperluan industri berkisar 10-20 tahun. Sedangkan untuk pembangunan infrastruktur, harus lebih lama dari itu (Hatta, 1970, dalam Swasono dan Ridjal, 1992-201).
Sikap waspada Soekarno-Hatta terhadap utang luar negeri itu ternyata tidak mengada-ada. Setidak-tidaknya terdapat tiga peristiwa penting yang membuktikan bahwa utang luar negeri memang cenderung dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman sebagai sarana untuk menciderai kedaulatan Indonesia. peristiwa pertama terjadi tahun 1950. Menyusul kesediannya untuk memberikan pinjaman sebesar US$ 100 juta, pemerintah Amerika kemudian menekan Indonesia untuk mengakui keberadaan pemerintah Bao Dai di Vietnam. Karena tuntutan tersebut tidak segara dipenuhi oleh Indonesia, pemberian pinjaman itu akhirnya ditunda pencairannya oleh Amerika (Weinstein. 1976: 210)
Peristiwa kedua terjadi tahun 1952. Setelah menyatakan komitmennya untuk memberikan pinjaman, Amerika kemudian mengajukan tuntutan kepada PBB untuk mengembargo pengiriman bahan-bahan mentah strategis seperti karet, ke Cina. Sebagai negara produsen karet dan anggota PBB, permintaan itu terpaksa dipenuhi Indonesia.
Peristiwa yang paling dramatis terjadi tahun 1964. Menyusul keterlibatan Inggris dalam konfrontasi dengan Malaysia, pemerintah Indonesia menanggapi hal itu dengan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Inggris. Mengetahui hal itu, pemerintah Amerika tidak bisa menahan diri. Setelah sebelumnya mencoba menekan Indonesia untuk mengaitkan pencairan pinjaman dengan pelaksanaan program stabilitasi IMF, Amerika kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya dengan tuntutan agar Indonesia segera mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.
Campur tangan Amerika tersebut, di tengah-tengah maraknya demontrasi menentang pelaksanaan program stabilisasi IMF di tanah air, ditanggapi Soekarno dengan mengecam utang luar negeri dan Amerika. Ungkapan “go to hell with your aid” yang terkenal itu adalah bagian dari ungkapan kemarahan Soekarno kepada Amerika. Puncaknya, tahun 1965, Soekarno memutuskan untuk menasionalisasikan beberapa perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia.
Perlawanannya yang sangat keras itu ternyata harus dibayar mahal oleh Soekarno. Menyusul memuncaknya krisis ekonomi-politik nasional pada pertengahan 1960-an, yaitu yang ditandai oleh terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap 6 jenderal pada 30 September 1965, tepat tanggal 11 Maret 1966 Soekarno secara sistematis mendapat tekanan untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto. Sebagaimana diketahui, selain menandai beakhirnya era Soekarno, peristiwa dramatis itu sekaligus menandai naiknya Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia.

Neokolonialisme Indonesia
Dengan naiknya Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia, sikap pemerintah Indonesia terhadap utang luar negeri berubah secara drastis. Hal itu tidak hanya tampak pada strategi pembangunan yang dijalankannya, atau pada jumlah utang baru yang dibuatnya, tetapi terutama tampak secara mencolok pada berbagai tindakan yang dilakukannya dalam memulihkan kondisi ekonomi Indonesia.
Beberapa tindakan yang dilakukan Soeharto dalam memulihkan kondisi ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut : Pertama, memperbaiki hubungan dengan para kreditor terutama negara-negara blok barat dan lembaga-lembaga keuangan multilateral. Tujuannya adalah untuk memperoleh utang luar negeri baru dan meminta penjadualan kembali pembayaran utang luar negeri yang diwariskan Soekarno. Hasil yang diperolehnya secara singkat adalah sebagai berikut.
Menyusul pertemuan negara-negara kreditor blok barat di Tokyo pada September 1966, yang dikenal sebagai The Paris Club, bulan Oktober 1966 Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima pinjaman siaga sebesar 174.juta dollar AS. Selanjutnya, menyusul pertemuan serupa di Paris pada Desember 1966, Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima tambahan pinjaman siaga sebesar 375 juta dollar AS.
Setelah itu, menyusul pertemuan Kelompok Paris di Amsterdam pada Februari 1967, yang sekaligus menandai lahirnya Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI), Indonesia kembali memperoleh komitmen pinjaman siaga sebesar 95,5 juta dollar AS (Palmer, 1978: 28). Adapun penjadualan kembali pembayaran utang luar negeri Indonesia, dengan negara-negara blok barat, baru disepakati tahun 1970. Sedangkan dengan negara-negara blok timur disepakati tahun 1971 dan 1972.
Pendaftaran kembali keanggotaan Indonesia pada lembaga-lembaga keuangan multilateral, berlangsung secara bertahap pada tahun 1967. Pendaftaran kembali ke IMF berlangsung bulan Februari 1967. Pendaftaran kembali ke Bank Dunia berlangsung bulan Mei 1967. Sedangkan pendaftaran keanggotaan Indonesia di ADB berlangsung bersamaan dengan pendirian lembaga tersebut tahun 1968. Menarik untuk dicatat, walaupun pendaftaran kembali keanggotaan Indonesia di IMF baru ditandangani pada Februari 1967, bulan Juni 1966 IMF sudah mengirim misinya ke Jakarta ( Palmer, 1978: 29).
Kedua, melanjutkan pelaksanaan program stabilisasi IMF serta mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih bersahabat dengan sektor swasta dan investasi asing. Sebagaimana diketahui, sesuai dengan persyaratan utang luar negeri yang diminta Amerika, pelaksanaan program stabilisasi IMF ini telah berlangsung sejak 1963. Tetapi menyusul terjadinya tragedi 30 September 1965, pelaksanaan program tersebut terpaksa dihentikan. Dalam era Soeharto dengan dikeluarkannya paket kebijakan 3 Oktober 1966, pelaksanaan program stabilisasi IMF itu dilanjutkan kembali.
Sesuai dengan permintaan IMF, hal yang harus dilakukan Indonesia untuk meningkatkan stabilitas ekonomi dalam garis besarnya meliputi : penyusunan anggaran berimbang, pelaksanaan kebijakan uang ketat, penghapusan subsidi dan peningkatan harga komoditas layanan publik, peningkatan peranan pasar, penyederhanaan prosedur ekspor, dan peningkatan pengumpulan pajak (Weinstein, 1976: 229).
Sehubungan dengan kebijakan untuk lebih bersahabat dengan sektor swasta dan investasi asing, tepat bulan Januari 1967, pemerintah Soeharto menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No. 1/1967. UU PMA yang baru ini lebih liberal dari pada UU yang digantikannya. Bersamaan dengan itu, perusahaan-perusahaan asing yang dinasionalisasikan Soekarno pada tahun 1963-1965, diundang kembali untuk mlanjutkan kegiatan mereka di Indonesia.
Dengan berlangsungnya pembalikan orientasi ekonomi Indonesia, yaitu dari yang berorientasi pada peningkatan kemandirian ekonomi menuju peningkatan ketergantungan, rasanya tidak berlebihan bila peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto diwaspadai sebagai proses sistematis berlangsungnya transisi kolonialisme di Indonesia. artinya, setelah merdeka dari kolonialisme Belanda pembuatan utang luar negeri secara besar-besaran dalam era pemerintahan Soeharto, patut diwaspadai sebagai proses sistematis penjerumusan Indonesia ke dalam perangkap neokolonialisme Amerika.

Penghapusan Utang
Dengan latar belakang seperti itu, tentu tidak berlebihan pula bila salah satu tindakan yang perlu dipertimbangkan untuk memerdekakan Indonesia dan kolonialisme utang adalah dengan memperjuangkan penghapusan utang. Tanpa penghapusan utang, Indonesia tidak hanya akan sulit membebaskan diri dari himpitan beban utang, tetapi cenderung akan semakin jauh terperosok ke dalam kolonialisme utang.
Sehubungan dengan itu, konsep utang najis (odious debt) sebagaimana diperkenalkan Alexander Nahum Sack berikut menarik untuk disimak. Menurut Sack (sebagaimana dikutip dalam Adams, 1991), “if a despotic incurs a debt not for the needs or in the interest of the State, but to strengthen its despotic regime, to repress the population that’s fights againts it, etc., this debt is odious for the population of all the State This debt is not an obligation for the nation; it is a regime’s debt, a personal debt of the power that has incurred it, consequently it falls with the fall of this power.
Konsep utang najis yang diperkenalkan Sack pada tahun 1927 itu dibangunnya berdasarkan preseden sengketa utang-piutang antar negara yang pernah terjadi sebelumnya. Negara pertama yang menerapkan konsep utang najis itu adalah Amerika, yaitu ketika negara tersebut mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Cuba dari penjajahan pemerintah Spanyol pada tahun 1898. Menyusul beralihnya penguasaan Cuba dari Spanyol ke Amerika, pemerintah Spanyol segera mendeklarasikan bergesernya tanggunggjawab untuk melunasi utang luar negeri Cuba yang dibuat di masa pemerintahannya itu kepada Amerika.
Tetapi Amerika secara tegas menoiak penggeseran tanggungjawab untuk melunasi “utang-utang Cuba” tersebut. Dalam jawabannya kepada pemerintah Spanyol, Amerika antara lain mengatakan, “They are debts created by the government of Spain, for its own purposes and through its own agents, in whose creation Cuban had no voice.” Sebab itu, menurut Amerika, utang-utang tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai utang penduduk Cuba, (dengan demikian) juga tidak bersifat mengikat bagi pemerintah Cuba berikutnya.
Berdasarkan konsep utang najis sebagaimana dikemukakan Sack itu, dapat disaksikan bahwa setiap pemerintahan Indonesia pasca Soeharto memiliki peluang untuk memerdekakan Indonesia dari neokolonialisme utang. Artinya, upaya pengurangan beban utang luar negeri Indonesia tidak hanya perlu dilakukan karena jumlahnya yang terlanjur sangat besar, tetapi terutama karena terdapatnya unsur utang najis dalam jumlah keseluruhan utang itu.
Dua alasan yang dapat digunakan sebagai titik tolak untuk meminta penghapusan utang dengan menggunakan konsep utang najis tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, buruknya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan utang luar negeri dalam era Soeharto. Sudah menjadi rahasia umum, pemerintahan Soeharto adalah sebuah pemerintahan korup. Kecenderungan untuk berlaku korup itu bahkan masih berlanjut hingga saat ini. Dalam perkiraan Bank Dunia, volume korupsi proyek-proyek yang dibiayai dengan utang luar negeri di Indonesia rata-rata mencapai sekitar 30 persen (World Bank, 1997).
Kedua, para kreditor wajib bertanggungjawab atas kelalaian mereka dalam memberikan utang. Hal ini terutama karena cukup kuatnya dugaan keterlibatan para kreditor pada berbagai skandal korupsi proyek-proyek utang itu. Sebagaimana diketahui, sekitar 80 persen utang luar negeri Indonesia diterima dalam bentuk fasilitas berbelanja secara kredit. Dalam rangka mengegolkan proyek-proyek tersebut, para pengusaha negara-negara kreditor tidak segan-segan menyuap para pejabat Indonesia. Selanjutnya, tanpa mempertimbangkan manfaat sebuah proyek bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia, para kreditor begitu saja menyetujui pembiayaan proyek-proyek tersebut dengan mengucurkan utang luar negeri.
Beberapa negara yang telah melakukan penghapusan utang adalah Brazil, Mexico, Argentina, Pakistan, dan Nigeria. Masing-masing negara tentu mengemukakan alasan yang barbeda-beda ketika mengajukan tuntutan penghapusan utang mereka. Tetapi kata kuncinya terletak pada adanya kemauan politik masing-masing pemerintah untuk tidak menggeser beban utang kepada rakyatnya masing-masing. Menggeser beban utang kepada rakyat banyak tidak hanya dapat dimaknai sebagai proses sistematis untuk menggeser dampak korupsi, tetapi dapat pula dimaknai sebagai proses sistematis untuk menyerahkan tenggorokkan rakyat kepada para penguasa dan pengusaha mancanegara.
Dilihat dari sudut Indonesia, kendala utama yang dihadapi negeri ini dalam menuntut penghapusan utang terletak pada sangat dominannya pengaruh para ekonom neoliberal dalam penyelenggaraan ekonomi Indonesia. Bagi para pemuja IMF tersebut, penderitaan rakyat di bawah himpitan beban utang cenderung tidak memiliki makna apa-apa. Sebab itu, alih-alih memperjuangkan penghapusan utang, mereka lebih suka menambah beban utang dengan membuat utang baru. Anehnya, setiap rezim yang berkuasa di Indonesia, tampak seperti tidak memiliki pilihan lain selain bekerjasama dengan kaki tangan para kreditor tersebut. Jangan-jangan selama 60 tahun ini kolonialisme memang hanya berganti gaya, tetapi secara substansial masih terus berlanjut di Indonesia
I.    Solusi Utang Luar Negeri
Pertama, Debt swap.  Solusi yang paling sederhana mengatasi utang luar negeri adalah dengan mengoptimalkan restrukturisasi utang, khususnya melalui skema debt swap, di mana sebagian utang luar negeri tersebut dikonversi dalam bentuk progran yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan lingkungan, dan sebagainya.
Program debt swap seperti ini sudah dijalankan dengan pemerintah Jerman, sebesar DM50 juta (Rp250 miliar) dari total utang sebesar DM178 juta, yang dikonversi dalam bentuk proyekpendidikan.
Kedua. Diplomasi ekonomi.  Menurut Rachbini. 1994,  masalah utang LN tidak bisa lagi diselesaikan dengan terapi fiskal dan teknis ekonomi belaka.  Potensi internal ekonomi kita tidak cukup kuat untuk melayani utang luar negeri yang salah dalam pengelolaannya.  Kita tidak bisa secara terus-menerus menjadi "good boy" dengan melayani seluruh cicilan tersebut karena sumber ekonomi dalam negeri akan terus terkuras dan mengganggu kestabilan ekonomi serta politik. 
Suatu pendekatan diplomasi ekonomi politik harus terus menerus dijadikan program aksi (action program) untuk menghadapi lembaga dan negara donor.  Diplomasi ekonomi juga penting dilembagakan dengan sasaran untuk memperoleh keringanan dan penghapusan sebagian hutang sehingga proses pengurasan sumberdaya dapat dihambat.
Ketiga.  Adalah cara yang lebih berani seperti yang ditawarkan oleh mantan kepala BAPPENAS Kwik Kian Gie, dalam hal utang luar negeri, harus ada keberanian untuk menggugat dan tidak membayar sesuai jadwal karena pada kenyataanya Indonesia tidak dapat membayar kembali utang dan bunga yang jatuh tempo.  Hutang tersebut hanya bisa dibayar dengan cara melikuidasi kekayaan negara.  Dalam hal utang dalam negeri, supaya menarik kembali OR yang masih dalam penguasaan pemerintah melalui bank-bank yang masih milik pemerintah. 
Keempat.  Adalah cara yang datang dari potensi internal pemerintah sendiri yaitu dengan menjaga kinerja makro-ekonomi dalam posisi yang stabil dan menstop hutang baru.  Untuk tawaran terakhir ini, paling tidak terdapat tiga asumsi dasar yang harus dipenuhi agar kita dapat keluar dari debt trap.  Asumsi dasar pertama adalah laju pertumbuhan ekonomi harus dijaga pada level antara minimum 3% setahun dan maksimum 7% setahun.  Angka terakhir pernah tercapai di masa Orde Baru, tetapi didasari oleh penjagaan keamanan yang keras dan otoriter dan arus modal masuk yang puluhan milyar setahun. 
Asumsi dasar kedua adalah menjaga tingkat inflasi tetap rendah-rendah (di bawah 10% setahun, idealnya 6%), medium (sekitar 10% setahun) dan tinggi (di atas 10% setahun)- Semakin rendah inflasi semakin baik oleh karena pengeluaran untuk membayar bunga utang rekap perbankan dalam negeri akan turun banyak, dan inflasi rendah akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal dari luar.
Asumsi ketiga adalah dalam beberapa tahun kedepan diharapkan tidak ada lagi penambahan stock hutang yang ada. Ini berarti bahwa di dalam negeri tidak akan ada krisis perbankan lagi yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan obligasi baru untuk menyelamatkan sistim perbankan. Asumsi ini juga berarti tidak ada tambahan utang luar negeri.
Maka, kalau laju pertumbuhan ekonomi mulai tahun ini bisa mencapai 7% setahun dan inflasi hanya 6% setahun, dan pemerintah tidak perlu menambah stock utang lagi, maka (pasti) beban angsuran utang turun dan sebagai akibatnya kita tidak perlu lagi membebani generasi mendatang dengan cicilan hutang.
Kedepan, untuk mengantisipasi jeratan utang yang sangat membebani bangsa dan negara ini, maka pemerintah harus mempunyai kemauan politik dan itikad baik untuk mengakhiri semua hasrat berhutangnya, dan menolak secara tegas pengaruh dan tekanan dari pihak negara mana pun yang berkepentingan menjerat negara ini dengan utang yang sebesar mungkin.


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Utang pemerintah pada saat ini, khususnya utang luar negeri, sudah berperan sebagai faktor, yang mengganggu APBN. Bahkan faktor gangguan yang berasal dari utang luar negeri tersebut sudah menampakkan signal negatif pada pertengahan 1980-an ketika terjadi transfer negatif. Utang pokok dan bunga yang dibayar kepada negara donor dan kreditor ketika itu sudah lebih besar dari utang yang diterima oleh pemerintah.
Hubungan utang dengan ekonomi rakyat terlihat pada dimensi APBN sekarang ini, yang sulit dijelaskan sebagai bentuk anggaran suatu pemerintahan yang normal. APBN dengan beban utang yang berat, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri, merupakan simbol ketidakwajaran dari instrumen kebijakan ekonomi negara ini. Dalam keadaan seperti ini, maka ekonomi masyarakat sangat terganggu.
Pada satu sisi, utang luar negeri Indonesia sudah menjadi beban kronis dari APBN sehingga anggaran negara tersebut tidak memiliki ruang yang memadai untuk manuver. Anggaran pengeluaran habis terkikis oleh pengeluaran untuk utang luar negeri. Dengan demikian, APBN Indonesia sudah menjadi instrumen yang sulit bergerak, kartu mati, dan bahkan mengganggu ekonomi nasional secara keseluruhan.
Pada sisi lain, APBN sendiri merupakan instrumen kebijakan pemerintah, yang sangat penting. Tetapi sekarang instrumen tersebut sudah menjadi kartu mati, yang tidak bisa dipakai secara leluasa untuk kepentingan ekonomi masyarakat luas, termasuk kepentingan ekonomi rakyat.